Tanggal 2 April yang lalu adalah hari peringatan Perang Kepulauan Malvinas.
Pada hari itulah, Presiden Argentina Alberto Fernandez membagikan sebuah video pendek dan mengeluarkan sebuah postingan di akun medsosnya bahwa Kepulauan Malvinas adalah bagian dari Argentina. “Marilah kita memulihkan kedaulatan Kepulauan Malvinas secara damai”. Berdasarkan resolusi PBB terkait, Argentina sekali lagi menyampaikan tuntutan sahnya untuk menyelesaikan masalah Kepulauan Malvinas melalui perundingan. Menanggapi hal tersebut, para politikus Inggris tidak boleh terus berpura-pura tuli.
Beberapa sejarah tidak akan menjadi kabur seiring dengan berlalunya waktu. Riwayat dan catatan sejarah seputar masalah Kepulauan Malvinas sangat jelas: di tahun 1816, Argentina mengumumkan telah merdeka dari penjajahan Spanyol dan mewarisi kedaulatan Spanyol terhadap kepulauan sepanjang pesisir laut Argentina termasuk Kepulauan Malvinas. Namun Inggris telah mengirimkan armada militernya untuk menduduki Kepulauan Malvinas pada tahun 1833 dan melakukan pemerintahan kolonial.
Ternyata bahwa masalah Kepulauan Malvinas sebenarnya adalah masalah peninggalan sejarah kolonialisme. Tahun 2016, Komisi Batas Landas Kontinen (CLCS) PBB telah menetapkan bahwa Kepulauan Malvinas berada dalam wilayah laut Argentina. Konferensi Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi pun kerap kali menuntut pemerintah Inggris untuk melakukan perundingan dengan Argentina. Akan tetapi pihak Inggris menolak semua tuntutan tersebut. Selama KTT G20 yang digelar tahun ini, Menlu Argentina sekali lagi mengajukan tuntutannya kepada Inggris untuk menghidupkan kembali perundingan seputar kedaulatan Kepulauan Malvinas, tapi sekali lagi ditolak.
Mengapa Inggris nekat untuk menduduki Kepulauan Malvinas? Pertama, meskipun Kepulauan Malvinas sangat jauh dari Inggris, tapi lokasinya berada pada jalur pelayaran utama Pasifik Selatan dan Atlantik Selatan, selalu dianggap sebagai pintu gerbang Atlantik Selatan, posisi strategisnya sangat menonjol. Analis berpendapat bahwa pihak Inggris ingin memanfaatkan sumber daya Antartika secara maksimal.
Selain itu, Inggris pun mengincar sumber daya di Kepulauan Malvinas yang sangat kaya, seperti lahan gambut, dan tambang mineral timbal, perak dan besi. Pada tahun 1970-an, di area Kepulauan Malvinas ditemukan sumber daya migas yang kaya. Seorang anggota Parlemen Inggris bahkan berkata, “Kami lebih rela kehilangan lima Irlandia Utara ketimbang satu Kepulauan Malvinas!”
Tindakan penjajahan, perampasan dan pemanfaatan yang dilakukan Inggris di Kepulauan Malvinas sangat bertentangan dengan arus utama dekolonisasi. Zaman kolonial sudah jauh berlalu. Para kolonis tidak boleh terus berpura-pura tuli dan mencoba terus menikmati keuntungan dari kolonial. Pihak Inggris seharusnya menghormati resolusi PBB dan secara positif menanggapi tuntutan sah rakyat Argentina, sedini mungkin mengembalikan Kepulauan Malvinas kepada Argentina.